Badut Simon
Oleh:
Untung Sularso (Bobo No. 05/XXX)
Tidak seorang pun tahu
kalau Pak Simon adalah seorang badut. Bahkan isteri dan anaknya pun tidak
tahu. Orang-orang hanya mengira Pak Simon itu tidak punya pekerjaan tetap.
Seperti biasa, pagi ini
Pak Simon mengayuh sepedanya menuju kota. Ia berhenti di dekat rumah
mungilnya di sudut kota. Di sanalah ia menyembunyikan barang-barangnya. Pak
Simon menengok ke kiri dan ke kanan, mencari saat yang tepat untuk masuk ke
rumah itu. Tergesa-gesa ia membuka pintu, memasukkan sepedanya lalu menutup
pintu dari dalam. Pak Simon lalu melangkah ke depan lemari kayu tua yang
cerminnya telah retak. Di depan cermin ia berdiri.
“Akulah Simon! Akulah
badut kota! Tetapi aku tidak ingin orang-orang tahu kalau Simon adalah
seorang badut,” kata hati Pak Simon sambil tersenyum. Telah lima tahun ia
menyimpan rahasia itu.
Seperti biasa, Pak Simon
lalu membuka lemari itu. Ia mengambil peralatan make-up dan pakaian badutnya.
Pak Simon mulai bersolek hingga ia yakin wajahnya tidak lagi dikenali sebagai
Simon. Ia memoles wajahnya dengan make-up, menempel bulatan karet di
hidungnya, dan mengenakan rambut palsu serta topi kerucut. Ia juga melilitkan
spon di perut dan pinggangnya hingga terlihat gendut. Terakhir ia memakai
pakaian badut bermotif bulat-bulat aneka warna, dan sepatu berhak tinggi.
Pak Simon berkaca untuk
memastikan penampilannya. Setelah itu ia mengantongi beberapa bola kecil dan
peralatan lainnya. Ia pun meraih sepeda roda satunya. Setelah mengunci pintu
rumahnya, ia menaiki sepeda roda satu itu menuju keramaian pusat kota.
“Badut! Badut!”
terdengar teriakan anak-anak kecil bersorak. Pak Simon tersenyum. Ia memulai
atraksinya. Berputar-putar di atas sepeda sambil melempar-lempar beberapa
bola dengan kedua tangannya. Orang-orang mulai merubungnya untuk menonton.
Pak Simon juga meletakan sebuah mangkuk plastik di hadapan orang-orang itu.
Satu demi satu orang-orang melemparkan uang recehan ke dalam mangkuk. Mereka
rela memberikan uang mereka. Pertunjukan atraksi Pak Simon memang lucu dan
menggemaskan. Penonton merasa terhibur.
Waktu terus berlalu. Pak
Simon masih melanjutkan atraksinya. Tetapi tiba-tiba jantungnya berdegup
kencang ketika melihat seorang wanita yang menggendong anak kecil. Anak itu
tampak sangat kagum memperhatikan gerak-geriknya.
“Aduh! Istriku! Mengapa
ia ke sini dengan Upik?” Pak Simon cemas. Ia khawatir istri dan anaknya tahu
kalau selama ini ia bekerja sebagai badut. Saat pikirannya sedang kalut,
tiba-tiba…
“Copet! Copet!”
terdengar teriakan istri Pak Simon. Pak Simon kenal betul suara istrinya itu.
Spontan ia melempar bola yang dipegangnya ke arah copet yang membawa lari
dompet istrinya. Sayang tidak kena sasaran. Pak Simon meloncat dari sepedanya
dan berlari menyibak kerumunan orang yang termangu. Pak Simon kembali
melempar bolanya dengan keras. Kali ini tepat mengenai kepala si pencopet. Ia
merasa pening lalu tersungkur. Pak Simon berlari mendekatinya. Beberapa orang
segera menahan di pencopet. Pak Simon segera mengambil dompet itu, lalu
diberikannya pada istrinya.
“Terima kasih!” kata Bu
Simon sambil tersenyum. Pak Simon hanya tersenyum, tak berani bicara. Namun,
gigi taring Pak Simon yang ompong terlihat. Bu Simon agak terkejut tetapi Pak
Simon tidak mempedulikannya. Setelah menyalami Bu Simon dan Upik , ia segera
menjauh untuk kembali beratraksi.
“Giginya ompong, persis
Ayah ya, Upik,” ujar Bu Simon pada anaknya. Ia lalu mengajak Upik pulang.
Selesai pertunjukan, Pak
Simon meraih mangkuk berisi uang. Ia lalu mengayuh sepeda roda satunya menuju
rumah mungilnya. Seperti biasa ia segera membasuh muka, membersihkan make-up
dan ganti baju. Ia kembali mengenakan pakaian seperti saat ia berangkat tadi.
Setelah menghitung uang perolehannya, Pak Simon segera mengeluarkan
sepedanya, mengunci pintu dan mengayuh sepeda untuk pulang.
“Akulah Simon! Akulah
badut kota!” kata Pak Simon dalam hati. Setiba di rumah, Bu Simon dan Upik
menyambutnya.
“Pak! Tadi aku kecopetan
di kota. Saat itu aku sedang mampir nonton badut dengan Upik. Badut itulah
yang membantu meringkus pencopet itu,” Pak Simon tersenyum mendengar cerita
istrinya.
“Kau kenal dengan badut
itu, Bu?” tanya Pak Simon.
“Tidak! Yang kuingat,
gigi badut itu ompong seperti Ayah.”
“Iya. Badutnya ompong
seperti Ayah,” kata Upik. Pak Simon tertawa.
“Akulah badut itu, Bu.
Akulah badut itu, Nak! Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon.
Tetapi hanya di dalam hati. Entah sampai kapan Pak Simon sanggup menyimpan
rahasia itu…
|
Rabu, 14 November 2012
Contoh Cerpen
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar