Ary dan Arie
Oleh:
Benny Rhamdani (Bobo No. 11/XXX)
Bel tanda istirahat baru berbunyi beberapa menit
lalu. Tapi keributan di kelas enam sudah mulai. Pertengkaran mulut antara Ary
dan Arie. Seperti biasa, masalah nama mereka. Meski ditulis berbeda, tapi
dibaca sama, yakni Ari.
"Pokoknya kamu harus mengganti nama
panggilanmu," seru Ary lantang.
"Kenapa aku yang harus mengganti? Kenapa
bukan kamu?" balik Arie.
"Karena aku lebih dulu sekolah di sini.
Sedang kamu anak baru! Lagipula panggilan itu cuma pantas buat anak
laki-laki," sambung Ary.
Arie bertolak pinggang. "Peraturan mana
itu?" tantang Arie.
"Peraturannya belum kubuat. Tapi buktinya
banyak. Lihat saja bintang sinetron, Ari Wibowo atau Ari Sihasale, itu semuanya
cowok. Pokoknya, mulai besok kamu harus mengganti nama panggilanmu," ancam
Ary.
"Enak saja. Kamu saja. Nama panjangmu itu
Aryanto Sadewa. Ganti saja menjadi Yanto, Sade atau Dewa. Kalau namaku memang
Arie Manisha. Jadi panggilanku memang Arie," Arie bersikeras.
Anak-anak kelas enam yang melihat hanya
menggelengkan kepala. Sudah dua hari ini kelas mereka selalu ramai saat
istirahat. Sejak kehadiran anak baru bernama Arie. Masalahnya hanya sebuah
nama. Tapi keduanya sama-sama keras kepala.
Di luar kelas anak-anak mulai mengadu kepada Oben,
sang ketua kelas.
"Tidak baik membiarkan mereka terus
bertengkar, Ben," desak Rani.
"Aku juga tidak suka melihat mereka
bertengkar. Hanya saja kupikir, mereka bisa menyelesaikan masalah mereka
sendiri," sahut Oben.
"Tapi kalau sudah begini...apa kamu mau diam
terus?" desak Puput.
"Aku sudah punya rencana. Mulai besok pagi,
kita jalankan rencana ini," kata Oben. Ia segera memaparkan rencananya.
Ketika sekolah bubar seisi kelas enam sudah memahami rencana itu. Tentu saja
selain Ary dan Arie.
Keesokan paginya Ary seperti biasa berangkat dengan
sepedanya. Dalam perjalanan ia menjemput Dika dan Asep.
"Kalian sudah bikin pe-er matematika?"
tanya Ary sambil mengayuh sepeda.
"Sudah. Kamu, Wa?" balik Dika.
"Dewa, biasanya kamu suka lupa. Hati-hati, nanti
kena hukum lagi," susul Asep.
"Dewa...? Kalian memanggilku Dewa? Heh, pasti
kalian sudah kena suap anak baru itu, agar memanggilku Dewa."
"Maksudmu, Nisha menyogok kami? Tidak sama
sekali!" kilah Asep.
"Nisha? Jadi kalian juga mengganti nama
panggilan anak baru itu? Hahaha, ini pasti ulah Oben!"
"Ya, kami sekelas terpaksa sepakat mengganti
nama panggilan kalian. Habis, tak ada yang mau mengalah, sih," jelas Dika.
"Hmmmm, tapi tak semudah itu. Aku tidak akan
menyahut dengan nama panggilan itu," Ary bersikeras.
"Ayolah...apa jeleknya sih nama panggilan
Dewa. Malah kelihatan lebih gagah untukmu," bujuk Dika.
"Hmm, kedengarannya tidak enak saja..."
Ary mengayuh sepedanya lebih cepat. Ia meninggalkan kedua temannya itu. Sampai
di kelas, teman yang lain ternyata memanggilnya dengan nama Dewa.
Kejanggalan pun dirasakan oleh Arie. Ia kaget
ketika teman-temannya mulai memanggilnya Nisha. Arie tidak berani protes,
karena semua teman sekelasnya memanggilnya begitu.
Oben sedikit lega ketika tahu rencananya berjalan
mulus. Tapi benarkah?
Ternyata tidak! Tiba-tiba di saat istirahat seisi
kelas enam terkejut melihat Arie menangis sesegukkan di bangkunya.
"Kenapa kamu menangis, Nisha?" tanya
Rani yang sebangku dengannya.
"Aku sedih...karena...kalian
memanggilku...Nisha...."
"Oh... itu kami lakukan karena kau dan Ary
selalu bertengkar," jelas Rani.
"Tapi aku sedih jika dipanggil Nisha. Nama
panggilan itu membuat aku teringat pada nenekku. Dulu sebelum pindah ke sini,
aku tinggal di kota Lembang bersama nenekku. Ia selalu memanggilku Nisha. Tapi
belum lama ini nenekku meninggal. Aku merasa kehilangan dan harus pindah ke
sini dengan orang tuaku. Kini setiap orang memanggilku dengan nama Nisha...aku
jadi sedih," papar Arie.
Puput dan Rani melirik ke arah Oben.
"Kalau kamu tidak mau dipanggil dengan nama
Nisha, kamu boleh memilih sendiri nama panggilan barumu," usul Oben
kemudian.
"Sungguh? Kalian akan memanggilku dengan nama
yang kusuka?"
"Ya," semua menyahut.
"Cantik. Aku suka nama itu. Kalian mau
memanggilku Cantik, kan?"
Tidak ada yang menyahut. Mereka menelan ludah.
"Tentu saja," sahut Oben buru-buru. Ia
menahan rasa gelinya di hati. "Mulai sekarang kami akan memanggilmu
Cantik."
Arie kelihatan senang mendengarnya.
"Tunggu dulu! Aku protes!" Tiba-tiba terdengar
suara Ary. "Kalau dia boleh memilih sendiri nama panggilannya, mengapa aku
tidak?"
"Memangnya kamu mau dipanggil apa?"
tanya Oben langsung.
"Raul. Raul Gonzales Blancho!" Ary
menyebut pemain sepak bola favoritnya.
"Huuuuuuu!!! Raul itu putih, hidungnya
mancung, dan ganteng... Sedangkan kamu..." Puput menyela.
"Sudah-sudah, biar saja. Barangkali saja
setelah dipanggil Raul, ia berubah jadi putih, mancung dan ganteng..."
Oben berusaha menenangkan. "Ada lagi yang mau protes?"
Tak ada yang berani memprotes lagi. Tak ada lagi
keributan tentang nama panggilan di waktu istirahat. Sejak itu Ary dan Arie
dipanggil dengan nama Cantik dan Raul. Hanya guru-guru saja yang tetap
memanggil mereka, Ary dan Arie.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar