Translate This Blog

Rabu, 14 November 2012

Contoh Cerpen



Badut Simon
Oleh: Untung Sularso (Bobo No. 05/XXX)


Tidak seorang pun tahu kalau Pak Simon adalah seorang badut. Bahkan isteri dan anaknya pun tidak tahu. Orang-orang hanya mengira Pak Simon itu tidak punya pekerjaan tetap.
Seperti biasa, pagi ini Pak Simon mengayuh sepedanya menuju kota. Ia berhenti di dekat rumah mungilnya di sudut kota. Di sanalah ia menyembunyikan barang-barangnya. Pak Simon menengok ke kiri dan ke kanan, mencari saat yang tepat untuk masuk ke rumah itu. Tergesa-gesa ia membuka pintu, memasukkan sepedanya lalu menutup pintu dari dalam. Pak Simon lalu melangkah ke depan lemari kayu tua yang cerminnya telah retak. Di depan cermin ia berdiri.
“Akulah Simon! Akulah badut kota! Tetapi aku tidak ingin orang-orang tahu kalau Simon adalah seorang badut,” kata hati Pak Simon sambil tersenyum. Telah lima tahun ia menyimpan rahasia itu.
Seperti biasa, Pak Simon lalu membuka lemari itu. Ia mengambil peralatan make-up dan pakaian badutnya. Pak Simon mulai bersolek hingga ia yakin wajahnya tidak lagi dikenali sebagai Simon. Ia memoles wajahnya dengan make-up, menempel bulatan karet di hidungnya, dan mengenakan rambut palsu serta topi kerucut. Ia juga melilitkan spon di perut dan pinggangnya hingga terlihat gendut. Terakhir ia memakai pakaian badut bermotif bulat-bulat aneka warna, dan sepatu berhak tinggi.
Pak Simon berkaca untuk memastikan penampilannya. Setelah itu ia mengantongi beberapa bola kecil dan peralatan lainnya. Ia pun meraih sepeda roda satunya. Setelah mengunci pintu rumahnya, ia menaiki sepeda roda satu itu menuju keramaian pusat kota.
“Badut! Badut!” terdengar teriakan anak-anak kecil bersorak. Pak Simon tersenyum. Ia memulai atraksinya. Berputar-putar di atas sepeda sambil melempar-lempar beberapa bola dengan kedua tangannya. Orang-orang mulai merubungnya untuk menonton. Pak Simon juga meletakan sebuah mangkuk plastik di hadapan orang-orang itu. Satu demi satu orang-orang melemparkan uang recehan ke dalam mangkuk. Mereka rela memberikan uang mereka. Pertunjukan atraksi Pak Simon memang lucu dan menggemaskan. Penonton merasa terhibur.
Waktu terus berlalu. Pak Simon masih melanjutkan atraksinya. Tetapi tiba-tiba jantungnya berdegup kencang ketika melihat seorang wanita yang menggendong anak kecil. Anak itu tampak sangat kagum memperhatikan gerak-geriknya.
“Aduh! Istriku! Mengapa ia ke sini dengan Upik?” Pak Simon cemas. Ia khawatir istri dan anaknya tahu kalau selama ini ia bekerja sebagai badut. Saat pikirannya sedang kalut, tiba-tiba…
“Copet! Copet!” terdengar teriakan istri Pak Simon. Pak Simon kenal betul suara istrinya itu. Spontan ia melempar bola yang dipegangnya ke arah copet yang membawa lari dompet istrinya. Sayang tidak kena sasaran. Pak Simon meloncat dari sepedanya dan berlari menyibak kerumunan orang yang termangu. Pak Simon kembali melempar bolanya dengan keras. Kali ini tepat mengenai kepala si pencopet. Ia merasa pening lalu tersungkur. Pak Simon berlari mendekatinya. Beberapa orang segera menahan di pencopet. Pak Simon segera mengambil dompet itu, lalu diberikannya pada istrinya.
“Terima kasih!” kata Bu Simon sambil tersenyum. Pak Simon hanya tersenyum, tak berani bicara. Namun, gigi taring Pak Simon yang ompong terlihat. Bu Simon agak terkejut tetapi Pak Simon tidak mempedulikannya. Setelah menyalami Bu Simon dan Upik , ia segera menjauh untuk kembali beratraksi.
“Giginya ompong, persis Ayah ya, Upik,” ujar Bu Simon pada anaknya. Ia lalu mengajak Upik pulang.
Selesai pertunjukan, Pak Simon meraih mangkuk berisi uang. Ia lalu mengayuh sepeda roda satunya menuju rumah mungilnya. Seperti biasa ia segera membasuh muka, membersihkan make-up dan ganti baju. Ia kembali mengenakan pakaian seperti saat ia berangkat tadi. Setelah menghitung uang perolehannya, Pak Simon segera mengeluarkan sepedanya, mengunci pintu dan mengayuh sepeda untuk pulang.
“Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon dalam hati. Setiba di rumah, Bu Simon dan Upik menyambutnya.
“Pak! Tadi aku kecopetan di kota. Saat itu aku sedang mampir nonton badut dengan Upik. Badut itulah yang membantu meringkus pencopet itu,” Pak Simon tersenyum mendengar cerita istrinya.
“Kau kenal dengan badut itu, Bu?” tanya Pak Simon.
“Tidak! Yang kuingat, gigi badut itu ompong seperti Ayah.”
“Iya. Badutnya ompong seperti Ayah,” kata Upik. Pak Simon tertawa.
“Akulah badut itu, Bu. Akulah badut itu, Nak! Akulah Simon! Akulah badut kota!” kata Pak Simon. Tetapi hanya di dalam hati. Entah sampai kapan Pak Simon sanggup menyimpan rahasia itu…

Contoh Cerpen



Asyiknya Berbagi
Oleh: Aat Danamihardja (Bobo No. 12/XXX)



“Kak Ita boleh ‘nggak pinjam pulpennya, satu. Punyaku tintanya habis,” Ully merayu kakaknya. Ita menggeleng.
”Aku juga mau pakai.”
“Kak Ita, kan, sedang menggambar.”
“Memang. Tapi besok aku ada ulangan. Kalau tintanya habis saat sedang ulangan, bagaimana?”
“Yaa… Kak Ita. Pinjam sebentar, soalnya tanggung, aku sedang menyalin. Nanti malam pasti aku ganti dengan bolpen baru,” Ully merayu lagi.
“Kalau kamu mau beli, ya beli sekarang saja. Kenapa harus nunggu sampai nanti malam.”
“Dasar pelit!” Ully pergi sambil merajuk.
Selalu saja begitu. Buku, pinsil, bolpen, selalu saja jadi bahan pertengkaran. Ita memang sulit berbagi.
“Kenapa si orang-orang tidak berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Selalu merepotkan orang lain saja!“ Ita bersungut ketika Ully sudah pergi. Tangan Ita sibuk menyelesaikan sketsa gambar yang ditugaskan gurunya. “Nah, sekarang tinggal mewarnai,” Ita meraih kotak cat air. Dan…” Ya ampun! Kenapa aku bisa lupa…” Ita terbelalak memandangi tube cat air yang sudah kempes. Satu persatu dipencet-pencet. Kering semua. Ita lupa kalau cat sudah habis. Ia memakainya untuk mewarnai gambar Mickey yang ia pajang di dinding kamar.
“Ully masih punya ‘nggak ya?” Ita bergumam. ”Ih, buat apa pinjam pada Ully. Itu berarti memberi kesempatan padanya untuk meminjam barang-barangku. Aku beli saja, ah!” setengah berlari Ita keluar dari kamarnya. Di pintu depan dia berpapasan dengan Ully.
“Mau ke mana Kak Ita?” Ully heran melihat kakaknya terburu-buru seperti itu. Ita menunjuk ke depan tanpa menjawab.
“Lapar ya, mau beli pisang goreng….”Ully menggoda. Ita mendelik.
“Makanan saja yang ada di pikiranmu. Beli cat air!”
“Kak Ita….”Ully mau mengucapkan sesuatu tapi tak jadi sebab Ita keburu lari. ”Heran, Kak Ita tak pernah mau minta bantuan padaku. Coba kalau dia ngomong sama aku. Pasti kuberitahu kalau di warung depan itu tak ada cat air. Dan aku akan kasih pinjam cat airku,” Ully bergumam.
Di dalam kamar Ully menimang-nimang cat air miliknya. “Kak Ita pasti dimarahi Bu Guru kalau gambarnya tidak selesai. Aku harus menolongnya. Tapi….biar saja deh. Dia juga pelit,” Ully memasukkan lagi kotak cat air ke dalam laci. ”Tapi kata Mama kita tidak boleh membiarkan orang yang memerlukan pertolongan,“ Ully mengeluarkan lagi kotak cat airnya. “Kupinjamkan… jangan… pinjamkan… jangan….” Ully menghitung-hitung jarinya. “Ah… kupinjamkan saja. Kasihan Kak Ita.”
Dengan berjingkat-jingkat ia masuk ke kamar Ita. Lalu menaruh kotak cat air di meja belajar. Tapi belum sempat Ully keluar pintu kamar, Ita sudah keburu datang.
“Berani-beraninya kamu masuk kamarku tanpa ijin. Mau apa kamu? “Ita langsung sewot.” Ayo keluar!” Ita mendorong Ully keluar kamar sebelum Ully sempat memberi penjelasan. Ita menutup pintu dengan kasar, lalu menghempaskan tubuhnya di kursi. “Uh! Apa yang harus kulakukan. Gambar harus selesai. Di warung tak ada cat air. Pinjam sama Ully? Amit-amit! Eh, apa itu?” Mata Ita tertumbuk pada sebuah benda di atas meja belajar. Kotak cat air. Dia sangat terkejut ketika membaca sebaris nama di tutup kotak itu. ”Ully…” Ita berbisik. “Ully masuk ke kamarku untuk meminjamkan cat air… Ah, dia pasti ada maunya!” Ita meraih kotak cat air, lalu bergegas menuju kamar Ully.
“Aku tidak memerlukan ini. Kamu pasti ingin aku meminjamkan pulpenku,” ujar Ita sambil meletakkan kotak cat air di meja Ully. Sejenak Ully bengong. Lalu lalu menggeleng.
”Aku sudah beli tadi. Ini!” Ully mengacungkan pulpen yang baru dibelinya. ”Aku pinjamkan itu karena aku tahu Kak Ita pasti memerlukannya.”
“Kamu….?” Ita menatap Ully lekat-lekat. Ully mengangguk mantap.
“Pakai saja, isinya masih banyak kok.” Ita ragu-ragu. Ully mengangsurkan kotak cat air ke tangan kakaknya. Malu-malu Ita meraihnya, lalu memeluk Ully erat-erat. Ita menyesal selama ini selalu berprasangka buruk pada adiknya. Bahkan pada orang-orang di sekelilingnya. Hari ini Ita sadar. Jika mau berbagi, hidup jadi terasa lebih menyenangkan.

Contoh Cerpen



Ary dan Arie
Oleh: Benny Rhamdani (Bobo No. 11/XXX)

Bel tanda istirahat baru berbunyi beberapa menit lalu. Tapi keributan di kelas enam sudah mulai. Pertengkaran mulut antara Ary dan Arie. Seperti biasa, masalah nama mereka. Meski ditulis berbeda, tapi dibaca sama, yakni Ari.
"Pokoknya kamu harus mengganti nama panggilanmu," seru Ary lantang.
"Kenapa aku yang harus mengganti? Kenapa bukan kamu?" balik Arie.
"Karena aku lebih dulu sekolah di sini. Sedang kamu anak baru! Lagipula panggilan itu cuma pantas buat anak laki-laki," sambung Ary.
Arie bertolak pinggang. "Peraturan mana itu?" tantang Arie.
"Peraturannya belum kubuat. Tapi buktinya banyak. Lihat saja bintang sinetron, Ari Wibowo atau Ari Sihasale, itu semuanya cowok. Pokoknya, mulai besok kamu harus mengganti nama panggilanmu," ancam Ary.
"Enak saja. Kamu saja. Nama panjangmu itu Aryanto Sadewa. Ganti saja menjadi Yanto, Sade atau Dewa. Kalau namaku memang Arie Manisha. Jadi panggilanku memang Arie," Arie bersikeras.
Anak-anak kelas enam yang melihat hanya menggelengkan kepala. Sudah dua hari ini kelas mereka selalu ramai saat istirahat. Sejak kehadiran anak baru bernama Arie. Masalahnya hanya sebuah nama. Tapi keduanya sama-sama keras kepala.
Di luar kelas anak-anak mulai mengadu kepada Oben, sang ketua kelas.
"Tidak baik membiarkan mereka terus bertengkar, Ben," desak Rani.
"Aku juga tidak suka melihat mereka bertengkar. Hanya saja kupikir, mereka bisa menyelesaikan masalah mereka sendiri," sahut Oben.
"Tapi kalau sudah begini...apa kamu mau diam terus?" desak Puput.
"Aku sudah punya rencana. Mulai besok pagi, kita jalankan rencana ini," kata Oben. Ia segera memaparkan rencananya. Ketika sekolah bubar seisi kelas enam sudah memahami rencana itu. Tentu saja selain Ary dan Arie.
Keesokan paginya Ary seperti biasa berangkat dengan sepedanya. Dalam perjalanan ia menjemput Dika dan Asep.
"Kalian sudah bikin pe-er matematika?" tanya Ary sambil mengayuh sepeda.
"Sudah. Kamu, Wa?" balik Dika.
"Dewa, biasanya kamu suka lupa. Hati-hati, nanti kena hukum lagi," susul Asep.
"Dewa...? Kalian memanggilku Dewa? Heh, pasti kalian sudah kena suap anak baru itu, agar memanggilku Dewa."
"Maksudmu, Nisha menyogok kami? Tidak sama sekali!" kilah Asep.
"Nisha? Jadi kalian juga mengganti nama panggilan anak baru itu? Hahaha, ini pasti ulah Oben!"
"Ya, kami sekelas terpaksa sepakat mengganti nama panggilan kalian. Habis, tak ada yang mau mengalah, sih," jelas Dika.
"Hmmmm, tapi tak semudah itu. Aku tidak akan menyahut dengan nama panggilan itu," Ary bersikeras.
"Ayolah...apa jeleknya sih nama panggilan Dewa. Malah kelihatan lebih gagah untukmu," bujuk Dika.
"Hmm, kedengarannya tidak enak saja..." Ary mengayuh sepedanya lebih cepat. Ia meninggalkan kedua temannya itu. Sampai di kelas, teman yang lain ternyata memanggilnya dengan nama Dewa.
Kejanggalan pun dirasakan oleh Arie. Ia kaget ketika teman-temannya mulai memanggilnya Nisha. Arie tidak berani protes, karena semua teman sekelasnya memanggilnya begitu.
Oben sedikit lega ketika tahu rencananya berjalan mulus. Tapi benarkah?
Ternyata tidak! Tiba-tiba di saat istirahat seisi kelas enam terkejut melihat Arie menangis sesegukkan di bangkunya.
"Kenapa kamu menangis, Nisha?" tanya Rani yang sebangku dengannya.
"Aku sedih...karena...kalian memanggilku...Nisha...."
"Oh... itu kami lakukan karena kau dan Ary selalu bertengkar," jelas Rani.
"Tapi aku sedih jika dipanggil Nisha. Nama panggilan itu membuat aku teringat pada nenekku. Dulu sebelum pindah ke sini, aku tinggal di kota Lembang bersama nenekku. Ia selalu memanggilku Nisha. Tapi belum lama ini nenekku meninggal. Aku merasa kehilangan dan harus pindah ke sini dengan orang tuaku. Kini setiap orang memanggilku dengan nama Nisha...aku jadi sedih," papar Arie.
Puput dan Rani melirik ke arah Oben.
"Kalau kamu tidak mau dipanggil dengan nama Nisha, kamu boleh memilih sendiri nama panggilan barumu," usul Oben kemudian.
"Sungguh? Kalian akan memanggilku dengan nama yang kusuka?"
"Ya," semua menyahut.
"Cantik. Aku suka nama itu. Kalian mau memanggilku Cantik, kan?"
Tidak ada yang menyahut. Mereka menelan ludah.
"Tentu saja," sahut Oben buru-buru. Ia menahan rasa gelinya di hati. "Mulai sekarang kami akan memanggilmu Cantik."
Arie kelihatan senang mendengarnya.
"Tunggu dulu! Aku protes!" Tiba-tiba terdengar suara Ary. "Kalau dia boleh memilih sendiri nama panggilannya, mengapa aku tidak?"
"Memangnya kamu mau dipanggil apa?" tanya Oben langsung.
"Raul. Raul Gonzales Blancho!" Ary menyebut pemain sepak bola favoritnya.
"Huuuuuuu!!! Raul itu putih, hidungnya mancung, dan ganteng... Sedangkan kamu..." Puput menyela.
"Sudah-sudah, biar saja. Barangkali saja setelah dipanggil Raul, ia berubah jadi putih, mancung dan ganteng..." Oben berusaha menenangkan. "Ada lagi yang mau protes?"
Tak ada yang berani memprotes lagi. Tak ada lagi keributan tentang nama panggilan di waktu istirahat. Sejak itu Ary dan Arie dipanggil dengan nama Cantik dan Raul. Hanya guru-guru saja yang tetap memanggil mereka, Ary dan Arie.

Contoh Cerpen



Anak Yang Memegang Pot Bunga Kosong
Diterjemahkan oleh: Djoni (Bobo No. 36/XXIX)




Dahulu kala, ada seorang raja tua yang tidak memiliki anak. Raja itu berpikir, "Saya sudah sangat tua. Jika saya meninggal, siapa yang akan menggantikan saya menjadi raja?"
Setelah berpikir cukup lama, Raja akhirnya mendapat akal. Ia mengumunkan pada rakyatnya bahwa ia akan memilih seorang anak. Anak itu akan dijadikan putera mahkotanya. Calon pengganti raja. Cara Raja memilih calon raja ternyata sangat mudah. Ia memberi sebutir benih bunga pada setiap anak di negerinya. Benih itu harus ditanam. Bunga siapa yang tumbuh paling indah, dialah yang terpilih sebagai calon raja.
Ada seorang anak yang bernama Song Jin. Ia juga membawa pulang sebutir benih bunga. Ia menanamnya di dalam pot bunga. Setiap hari ia menyirami benih bunga itu. Song Jin sangat berharap benih bunga itu segera bertunas dan mengeluarkan bunga indah. Tapi, hari demi hari pun berlalu. Tidak ada sesuatu pun yang tumbuh di pot bunga itu. Song Jin sangat cemas. Ia segera menggali keluar benih bunga itu dari pot bunga. Kemudian menanamnya lagi di pot bunga dan tanah yang baru.
Dua bulan pun berlalu. Telah tiba waktunya bagi Raja untuk menilai pekerjaan anak-anak di negerinya. Namun, pot bunga Song Jin tetap saja kosong. Tidak ada yang tumbuh keluar.
Hari itu, semua anak di negeri itu berkumpul di istana. Tangan mereka masing-masing memegang pot bunga. Ada yang berisi bunga merah, kuning, putih…Ah, semua tampak indah. Sulit menentukan siapa yang paling indah.
Raja berkeliling melihat bunga-bunga yang indah itu. Tapi aneh, wajah Raja tampak berkerut. Sepatah kata pun tidak diucapkannya. Raja berjalan terus. Tiba-tiba Raja melihat Song Jin yang memegang pot bunga kosong. Song Jin menundukkan kepalanya. Ia tampak sedih sekali.
Raja segera menghampirinya, "Nak, kenapa kau memegang pot kosong?"
Seketika Song Jin menangis dan berkata, "Saya…saya telah menanam benih bunga ini di dalam pot. Setiap hari saya sirami air. Tapi benih bunga ini tetap saja tidak bertunas. Karena itu, saya…saya hanya bisa memegang pot bunga kosong."
Mendengar itu, Raja tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, inilah anak yang jujur dan cocok untuk menjadi raja. Kaulah yang terpilih menjadi calon raja."
Lo,apa yang terjadi sebenarnya?
Rupanya, semua benih bunga yang Raja bagikan itu, telah digoreng terlebih dulu. Tentu saja benih bunga seperti itu tidak bisa bertunas. Apalagi berbunga?! Itu sebabnya Song Jin tidak berhasil menumbuhkan benih bunga itu. Bagaimana dengan anak-anak lainnya? Ow, mereka tidak jujur. Mereka telah menukar benih bunga pemberian Raja dengan benih bunga lain.