Mengapa Beo Selalu Menirukan Suara?
Dahulu kala,
hewan-hewan di hutan bisa berbicara seperti manusia. Mereka bercakap, bekerja
sambil bercakap, juga hidup rukun dan damai. Pada suatu hari Ibu Peri Penjaga
Hutan mengumpulkan penghuni rimba. Ia berkata, “Anak-anakku, Sang Pencipta
telah menciptakan makhluk baru. Namanya manusia. Sang Pencipta memutuskan bahwa
manusialah yang akan berbicara dengan bahasa kita. Dan kita diperintahkan untuk
mencari bahasa dan suara baru untuk kita pakai mulai saat ini.”
Pada mulanya
para penghuni rimba terkejut. Namun mereka sadar bahwa tidak mungkin menolak
kehendak Sang Pencipta.“Ibu Peri Penjaga Hutan, kami tunduk kepada kehendak
Sang Pencipta. Tapi sekarang kami belum bisa mencari bahasa baru untuk kami
pakai. Berilah kami waktu,” ujar Singa mewakili teman-temannya.“Aku mengerti.
Kalian diberi waktu satu minggu. Kalian akan berkumpul lagi disini dan
memberitahu padaku bahasa apa yang kalian pilih. Setelah itu, pakailah bahasa
serta suara itu, dan lupakan bahasa manusia.”
Maka pulanglah
penduduk hutan ke tempat masing-masing. Mereka mulai berpikir keras untuk
mencari suara yang gagah dan cocok untuk mereka masing-masing.
Begitulah,
hari demi hari penduduk hutan sibuk bersuara. Mencari-cari suara yang akan
mereka pakai selanjutnya. Singa yang telah dinobatkan sebagai raja hutan karena
keberaniannya, lebih dahulu memilih suara mengaum.“Aouuuuum,” katanya dengan
gagah memamerkan suaranya. Penduduk hutan yang lain senang mendengarnya. Mereka
merasa suara itu pas benar dengan bentuk tubuh singa yang gagah.
Tapi tidak
semua hewan senang mendengarnya. Burung Beo yang usil malah menertawakan suara
itu.“Hahaha, mirip orang sakit gigi,” cetus Beo sambil tertawa terbahak-bahak. Singa
sangat malu mendengarnya.
Begitulah,
hari berganti hari, semuanya mencoba berbagai suara kecuali Beo. Ia sibuk
mengejek suara-suara yang berhasil ditemukan.“Hahaha, seperti suara pintu yang
tidak diminyaki,” ejek Beo kepada Jangkrik yang menemukan suara berderik. “Hahaha,
kudengar nenek-nenek tertawa,” ejeknya kepada Kuda. “Ban siapa yang bocor?
Hahaha,” ia menertawakan suara desis Ular.
Begitulah
pekerjaan Beo setiap hari. Ia sibuk mengintip dan menertawakan penduduk hutan
lainnya yang mencoba suara baru. Teman-temannya tidak dapat berbuat apa-apa.
Mereka malu dan langsung menghindar dari Beo. Tapi Beo selalu berhasil menemukan
dan menirukan suara mereka.“Mbeeeek,” tirunya ketika melihat Kambing. “Ngok-ngooook,”
tirunya ketika melihat Babi.
Tak terasa
sudah satu minggu. Penduduk hutan harus berkumpul kembali untuk mengumumkan
suara yang mereka pilih. Ibu Peri Penjaga Hutan memanggil mereka satu per satu.
Beo saja yang masih saja tertawa. Ia pikir teman-temannya bodoh, karena suara yang
mereka temukan lucu-lucu.
Tibalah
giliran Beo untuk mengumumkan suara barunya. Ia maju ke depan. “Mbeeeek,”
jeritnya. “Hei itu suaraku,” kata Kambing. Yang lain tertawa. Beo tertegun. Ia
baru sadar, selama ini ia terlalu sibuk mengejek teman-temannya sehingga lupa untuk
mencari suaranya sendiri.
“Muuu,…guk-guk,…meong,”
Beo panik. Ia menirukan saja suara yang pernah ia dengar. Tentu saja Sapi,
Anjing, dan Kucing tertawa terbahak-bahak.
Beo sangat
malu. Akhirnya ia menangis tersedu-sedu. Ia minta maaf kepada teman-temannya.
Dengan tersenyum Ibu Peri Penjaga Hutan berkata, “Sudahlah, kamu akan tetap
kuhadiahkan sebuah suara. Tapi sebagai pelajaran, kau akan tetap menirukan
suara orang, sehingga kau akan ditertawakan selamanya.”
Begirulah
riwayatnya, mengapa burung beo selalu menirukan suara-suara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar